Pada masa awal kelahirannya, blog atau situs pribadi dianggap sebelah
mata, bahkan cenderung dilecehkan. Sampai sekarang pun sikap nyinyir
terhadap bloger tidak pernah hilang. Disebutlah bloger itu narsis yang
buang-buang waktu percuma. Persis lahirnya sebuah revolusi, kehadiran
awalnya diragukan.
Sekarang, orang yang melek internet tetapi
belum nge-blog, istilah merujuk aktivitas dalam membuat dan mengisi
blog, dianggap tertinggal zaman. Blog sudah menjadi gaya hidup, mulai
dari anak sekolah dasar, selebriti, sampai menteri. Bahkan, 94 dari 96
suratkabar cetak terbaik di Amerika Serikat memiliki blog. Hanya empat
surat kabar saja yang "jadul" alias terseret zaman karena tidak memiliki blog.
Jelaslah, di belahan dunia sana blog sudah masuk salah satu kriteria penting sebagai penentu berkualitas tidaknya sebuah surat kabar. Beberapa surat kabar
cetak di Indonesia sudah memiliki kesadaran lebih dini dengan membuat
blog sebagai tempat curhat para wartawannya atau tempat mengekspos
kegiatan keseharian surat kabar itu, yang tidak mungkin termuat dalam surat kabar.
Di Eropa atau Amerika, surat kabar
online pun memiliki blog sendiri-sendiri, plus blog pribadi wartawannya
yang bisa diklik di jajaran navigasi global pada tampilan surat kabar
online tersebut. Ada "cerita di balik berita" yang lebih bebas terungkap
dalam blog, yang kadang justru lebih menarik daripada peristiwa itu
sendiri.
Ada forum dialog intens yang hangat antara wartawan dan
para pembaca. Ada keakraban di sana. Seluruh wartawan, editor, dan
pemilik surat kabar
bisa disapa serta ditanya tentang berbagai hal. Wartawan yang menulis
berita tidak lagi asal lempar tulisan setelah itu tutup telinga:
"terserah tulisanku mau dibaca atau tidak, pokoknya masa bodoh".
Hubungan
antara koran yang diwakili wartawan dan para pembacanya menjadi
berjarak. Wartawan kerap dicap sebagai "orang pintar" yang duduk di
menara gading, yang sulit dan tidak bisa disapa pembaca. Akan berbeda
persoalannya jika sebuah surat kabar memiliki blog sendiri. Suasana
lebih akrab bisa terjalin karena dipersatukan minat yang sama. Wartawan
yang biasa menulis rubrik khusus, seperti otomotif, teknologi informasi,
dan politik, memiliki "basis massa" pembaca yang luar biasa besar.
Sayang, selama ini aliran informasi hanya satu arah sifatnya. Tidak ada dialog interaktif untuk menangkap umpan balik (feedback)
pembacanya, yang kemungkinan ada persoalan baru lainnya yang muncul
dari hasil dialog interaktif itu untuk bahan tulisan berikutnya.
Bukankah dalam dunia media online ada adagium bahwa berita adalah
percakapan itu sendiri?
Wartawan memang manusia supersibuk yang
tidak punya waktu membalas sapaan pembacanya di blog. Membalas sapaan
pembaca di blog berarti buang-buang waktu sehingga waktu untuk menulis
tersita. Tentu saja wartawan tidak harus memelototi blog tiap hari.
Kalau tidak punya waktu, barangkali cukup seminggu sekali, sebulan dua
kali, atau boleh juga sebulan sekali. Sekadar "say hello" saja kepada
pembacanya.
Maka, berkumpulnya para blogger dari berbagai penjuru
Tanah Air di Blitz Megaplex Jakarta, 27 Oktober lalu, menjadi penting.
Selain menunjukkan keberadaan para blogger, ada semangat memperekat
komunitas blogger. Meski belum pernah bertemu secara fisik dan hanya
bertutur sapa di dunia maya lewat media maya, toh pertemuan itu menjadi
"kopi darat" pertama yang terbesar. Beberapa wartawan peliput acara
yang kemudian diklaim sebagai "Hari Blogger Nasional" itu adalah bloger,
karena kesadaran mereka untuk berada dalam satu komunitas yang sama,
yang sudah terbiasa saling menyapa dalam dunia maya.
Jumlah
130.000 blogger Indonesia belum apa-apa dibandingkan dengan penduduk
Indonesia yang sudah menyundul angka 230 juta jiwa. Namun, melihat
antusias orang yang terus membuat blog di seluruh dunia, jumlah itu
rasanya terlalu kecil. Tengok Wordpress, salah satu situs penyedia blog
terdepan saat ini, di mana setiap harinya mencatat 50.000 pembuat blog
baru. Anda? Jangan malu untuk memulai!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar